Mewujudkan Keluarga Tangguh: Membendung KDRT

DIAGNOSA -- Sampai sekarang kita masih tidak habis pikir mengapa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi? Seharusnya KDRT tidak mungkin dilakukan karena tidak mungkin seseorang menyakiti orang yang dicintai. Setiap orang yang mencintai akan menjaga, melindungi dan memenuhi seluruh kebutuhan orang yang dicintai. Itulah hukum dasarnya.
Sebagaimana dimaklumi, cinta dan kasih sayang merupakan pondasi terbentuknya rumah tangga. Rasa-rasanya, tidak ada orang yang berkomitmen untuk hidup bersama selamanya tanpa landasan tersebut. Kecuali dalam kasus tertentu dan spesifik, itupun dengan harapan besar akan tumbuh cinta setelah berumah tangga nanti.
Untuk mendapatkan kimiawi hubungan calon suami-isteri, dibutuhkan waktu ta’aruf (perkenalan) yang cukup untuk dapat saling mengenali sifat, karakter dan menyelami perasaan diantara keduanya. Bahkan latar belakang keluarga dan mungkin juga budaya perlu dikenali dengan baik. Dengan tetap menjaga akhlak Islami, ta’aruf merupakan masa yang krusial untuk menimbang kadar dan bobot cinta yang dimiliki, lalu diputuskan lanjut atau cukup sampai di situ.
Dari pondasi ini, lahirlah cinta, kasih sayang, kepercayaan, kesetiaan, ketenangan batin, pengorbanan dan kesanggupan untuk saling menjaga dan melindungi demi keutuhan rumah tangga yang diidamkan. Karena cinta, mereka berjanji untuk sehidup-semati demi terwujudnya keluarga maslahah. Jadi, seharusnya tidak mungkin terjadi KDRT dalam rumah tangga. Tapi faktanya, KDRT tetap saja ada dan makin mengkhawatirkan.
Jangan Menormalisasi
Kepolisian menyebutkan KDRT merupakan kasus yang paling sering dilaporkan oleh masyarakat. Jumlahnya 11.028 perkara (Kompas, 31 Desember 2024). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, terjadi total 28.798 kasus KDRT, dalam berbagai kategori.
Menurut catatan Komnas Perempuan, bentuk-bentuk KDRT terbanyak setiap tahunnya adalah kekerasan terhadap isteri (KTI) di urutan pertama sebanyak 70% dari keseluruhan kasus. Akibat KDRT jelas melukai fisik dan terutama mental korban.
Korban karena KDRT bukan hanya isteri, tetapi juga anak dan keluarga. Negara juga dirugikan akibat perilaku tidak sehat dalam relasi rumah tangga ini. Rumah tangga yang harmonis merupakan aset dan prasyarat pembangunan bangsa. Dari sinilah pasangan suami isteri itu saling mengasihi dan mendidik anak-anak mereka hingga menjadi sumber daya manusia yang unggul di masa depan.
Jika terjadi KDRT, kemungkinan rumah tangganya bisa pecah. Mantan suami dan mantan isteri harus memulai hidup dari nol lagi. Anak-anak tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang optimal dari orang tua mereka. Begitu mahal kerugian yang ditanggung akibat KDRT dan dampak ikutannya.
KDRT jelas bertentangan dengan prinsip agama, hukum dan juga kemanusiaan. Sekecil apapun kasusnya, tidak boleh dinormalisasi. Karena itu, setiap pasangan yang akan menikah harus memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan hak dan kewajiban suami isteri. Salah satu caranya, mereka wajib mengikuti bimbingan perkawinan yang dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) sebelum akad nikah.
Mengutamakan Keluarga
Hak dan kewajiban suami-isteri tergambar dalam ajaran agama dan norma-norma UU. Di luar itu, norma sosial juga membingkai keseluruhan relasi suami-isteri agar patut dan pantas. Apapun situasi dalam rumah tangga, berperilaku yang patut dan pantas sangat dibutuhkan supaya relasi suami dan isteri tetap dalam koridor agama, hukum dan kemanusian.
Kita semua mafhum bahwa terdapat seribu satu persoalan yang telah, sedang dan akan dihadapi oleh setiap keluarga. Soal ekonomi mungkin yang paling berat. Soal kesetiaan, loyalitas dan integritas kepada pasangan juga ujian yang tidak kalah beratnya. Soal beda prinsip dalam menjalani hidup juga sering menjadi pemicu perselisihan keluarga. Pendek kata, semua pasangan suami isteri pasti paham mengenai hal ini.
Karena itu, menyelesaikan masalah dengan kekerasan pasti bukan solusi. Kekerasan justru merupakan masalah itu sendiri dan memperberat masalah yang sedang dihadapi.
Semua pasangan harus memperkuat pondasi agama dalam rumah tangga agar tetap berkepala dingin meski banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Agama memperkokoh batin setiap pemeluknya agar tangguh dalam menghadapi semua persoalan.
Keluarga yang tangguh bukanlah rumah tangga yang kaya raya dan tanpa masalah. Pada fitrahnya, semua keluarga pastilah memiliki problemnya sendiri-sendiri. Keluarga yang tangguh adalah keluarga yang literasi agamanya cukup sehingga mampu menjadikan agama sebagai inspirasi untuk membangun keluarga yang maslahat.
Keluarga yang tangguh tidak akan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Keluarga yang tangguh tahu persis bahwa kemaslahatan keluarga merupakan prioritas utama dalam hidupnya sehingga rumah tangga yang telah dibina akan dijaga keutuhannya dan terus berikhtiar memenuhi semua kebutuhannya, sesuai kemampuan dengan kemampuan. Keluarga yang tangguh merupakan sumber ketangguhan bangsa.