Home > Opini

Fitofarmaka: Antara Peluang dan Tantangan dalam Pelayanan Integratif

Ditulis Oleh: Dr.apt.Kintoko, MSc
Fitofarmaka atau obat dari bahan alam yang telah teruji klinis dapat menjadi kunci utama kemandirian farmasi nasional. Gambar: Republika 
Fitofarmaka atau obat dari bahan alam yang telah teruji klinis dapat menjadi kunci utama kemandirian farmasi nasional. Gambar: Republika

DIAGNOSA -- Fitofarmaka, obat bahan alam yang telah lolos uji klinik Randomized Controlled Trial (RCT) menjadi simbol modernisasi dalam pengembangan obat bahan alam di Indonesia. Ibarat pepatah, di balik peluang yang besar ada tantangan yang besar pula. Sesungguhnya, peluang pasar domestik di Indonesia sangat terbuka luas, terutama pada 10 besar penyakit prioritas nasional, seperti hipertensi, diabetes, wasir, nyeri sendi, batu ginjal, imunomodulator, stunting, gangguan fungsi hati, kanker dan stroke. Peluang tersebut didukung oleh kekayaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah dengan koleksi hayati lebih kurang 30.000 jenis tanaman obat. Namun demikian, tantangan pengembangannya cukup besar, baik dari sisi biaya penelitian yang mahal maupun lamanya waktu penelitian. Di sisi lain, fenomena jumlah fitofarmaka Indonesia yang jumlahnya terus menurun dari 26 item, kini menjadi 20 item menjadi catatan khusus bagi semua pihak yang terlibat dalam percepatan pengembangan fitofarmaka.

Terkait dengan upaya pelayanan integrasi, WHO mengelompokkan Indonesia ke dalam sistem inklusi bersama dengan sebagian besar negara lainnya. Hanya Cina, Vietnam dan Korea yang benar-benar dianggap oleh WHO sebagai penerapan konsep integrasi dalam pelayanan kesehatan tradisionalnya. Baru-baru ini, Thailand ditetapkan oleh WHO sebagai Collaborating Centre of Applied Thai Traditional Medicine (CATTM) melalui upaya integrasi oleh Siriraj Hospital Mahidol University. Tentu saja, ini menjadi motivasi Indonesia untuk melaju lebih kencang dalam percepatan pengembangan fitofarmaka menuju pelayanan integratif. Adanya peluang tersebut ditunjukkan oleh profil kinerja beberapa fitofarmaka yang sukses tumbuh di pasar.

Contoh Sukses Implementasi Fitofarmaka di Indonesia

Di antara contoh sukses implementasi fitofarmaka dalam sistem kesehatan integratif adalah produk fitofarmaka yang dikembangkan oleh industri di Indonesia dengan bahan baku herba meniran. Produk ini banyak digunakan oleh tenaga medis untuk meningkatkan imunitas. Produk ini diformulasikan dalam bentuk sediaan farmasi berupa kapsul sehingga dapat diterima (acceptable) oleh pasien karena rasa pahitnya tertutupi. Namun demikian, produk fitofarmaka ini termasuk dalam kelompok imunostimulan berdasarkan mekanisme aksinya. Sebagaimana diketahui, imunomodulator terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu imunoadjuvant, imunostimulan dan imunosupresan. Oleh sebab itu, produk fitofarmaka ini dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami masalah autoimun seperti pada reumatoid artritis, lupus, dll. Reputasinya sebagai booster imunitas memberikan dampak positif dalam terapi komplementer pada kasus-kasus penyakit infektif maupun penyakit lainnya yang membutuhkan peningkatan daya tahan tubuh seperti pada kanker.

Success story lainnya adalah produk fitofarmaka yang dikembangkan dari kombinasi seledri dan kumis kucing sebagai antihipertensi. Sebagaimana diketahui, hipertensi termasuk silent killer yang bisa menjadi faktor risiko serangan jantung, stroke dan/atau gagal ginjal kronis. Ketiganya termasuk dalam jenis penyakit katastropik dan menjadi papan atas penyakit pembunuh masyarakat Indonesia. Kombinasi herbal mempunyai tujuan untuk meningkatkan efek sinergisme yang dapat berdampak pada therapeutic enhancement dan advancement serta mengeliminasi kemungkinan adanya efek samping yang timbul. Fitofarmaka ini dikontraindikasikan pada wanita yang sedang hamil karena bersifat teratogenik. Dengan demikian, produk fitofarmaka ini tidak dapat dipakai oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan pada kasus hipertensi gestasional.

Fitofarmaka lainnya yang cukup menggembirakan pasarnya adalah kombinasi antara daun bungur dan kayu manis pada kasus penyakit diabetes melitus tipe 2. Bahkan, fitofarmaka ini dapat dikombinasi dengan obat antidiabetes oral seperti dengan metformin atau glibenklamid. Pada pasien yang mengalami kondisi polycystic ovarian syndrome (PCOS), juga berpeluang diterapi menggunakan fitofarmaka ini. Sejauh ini belum ada bukti kontraindikasi, namun kewaspadaan tetap dilakukan mengingat kayu manis mengandung senyawa kumarin yang berpotensi menimbulkan reaksi alergi seperti gatal-gatal. Efek yang tidak dikehendaki dianggap ringan jika hasil kajian farmakovigilans menggunakan studi Naranjo menunjukkan angka kejadiannya kurang dari 15%.

Terakhir, peluang fitofarmaka yang mengandung campuran dari ikan gabus, buah jeruk dan rimpang kunyit sebagai booster albumin pada kasus hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui, ikan gabus kaya akan sumber albumin. Pada banyak kasus penyakit infektif seperti covid-19, TBC dan infektif lainnya, terjadi penurunan drastis pada kadar albumin. Oleh sebab itu, kadar albumin dalam darah menjadi prediktor kemajuan terapinya. Hal ini karena albumin berperan dalam menjaga integritas pembuluh darah dengan membentuk struktur glycocalyx. Selain itu, kecukupan albumin menjadi faktor penting dalam distribusi berbagai zat dalam tubuh mengingat albumin merupakan protein transporter atau carrier. Sejauh ini, produk fitofarmaka ini belum diketahui secara jelas kontraindikasinya.

Sumber: ayosehat.kemkes.go.id

× Image