Home > News

Perjuangan Pendamping Jemaah Haji Lansia dan Disabilitas

Hawa panas, rata-rata 41 hingga 43 derajat celcius.
Interaksi Deka Kurniawan, dari Komisi Disabilitas Nasional dengan Fatima Zahro dan ibunya, Junaina M.Toyyib.
Interaksi Deka Kurniawan, dari Komisi Disabilitas Nasional dengan Fatima Zahro dan ibunya, Junaina M.Toyyib.

DIAGNOSA -- Hawa panas memerangkap, ketika saya melangkah ke luar Tabah Towers Hotel, Sektor 2, di Madinah. Entah berapa derajat siang ini. Rata-rata 41 hingga 43 derajat celcius di sini.

Saya menggenggam sebotol jus mangga yang dingin dan sedap, seharga 4 riyal. Dengan bibir yang selalu kering dan pecah-pecah, jus buah termasuk idola kami, para petugas Media Center Haji (MCH), ketika ke luar kantor.

Sebagai orang yang lahir dan besar di belahan bumi tropis, lalu terlontar oleh nasib baik ke dua Tanah Haram yang mulia, sekaligus negeri gurun yang kering dan panas, tentulah ketika kami mengalami konsekuensi penyesuaian fisik, wajar adanya.

Gantungan kunci boneka unta berbagai ukuran terpajang, sungguh menggemaskan, di toko souvenir bagian depan hotel. Saya merasa terlempar masuk ke dalam video-video travelling yang kadang saya tonton.

Bersama Mas Gigih, wartawan MNC, pada MCH Daerah Kerja Madinah, kami menuju mobil jemputan, mobil operasional liputan. Hari ini kami mewawancarai nara sumber dari Komite Nasional Disabilitas, Koordinator Layanan Lansia dan Disabilitas Sektor 2, sekaligus jemaah haji lansia dan disabilitas beserta jemaah haji pendampingnya. Pikiran saya penuh dengan beberapa liputan yang belum ditulis.

Liputan pagi jelang siang ini agak menguras air mata. Mbak Rini, wartawan RRI, sempat titip hp-nya yang sedang merekam, pada saya, lalu ia beringsut mundur dan menangis diam-diam di belakang kami.

Narasumber yang berurai air mata, pendamping lansia disabilitas netra sekaligus tidak bisa berjalan karena sakit diabetes --yang terduduk sabar di kursi roda-- ibu kandungnya. Saya berhasil tegar dengan menolak larut dalam suasana itu, walaupun tetap berkaca-kaca, hampir meluruhkan air mata.

Fatima Zahro, jemaah haji kelompok terbang (Kloter) 31 Embarkasi Surabaya (SUB 31), narasumber kami yang mestinya terpisah bus karena beda syarikah, berjuang untuk selalu berada di sisi ibunya, Junaina M. Toyyib. Fatima memilih sementara terpisah dari suaminya, Syamsul Arifin. Ia berhasil berjuang, keluar dari manifestnya, demi mendampingi ibunya, bahkan sejak beda kloter di Tanah Air. Bahwa mereka berangkat bersama karena penyatuan ibu dan anak, seakan kode hijau untuknya terus memperjuangkan kebersamaan selama di Tanah Suci.

"Terharu saja. Ummi ini sudah disabilitas begini, sampai sini alhamdulillah. Nggak sedih, saya seneng, seneng banget. Ummi bisa sampai sini, bisa beribadah sempurna. Bukan sedih tapi bahagia banget. Meskipun dengan kekurangan seperti ini. Saya sudah berkomitmen dari depan, mata saya, matanya Ummi, kaki saya juga kakinya Ummi. Jadi nggak usah berpikir yang negatif wis.. bisa alhamdulillah, setiap waktu bisa (salat) jamaah", ungkap Fatima Zahro, menahan isak tangis.

Tahun ini adalah pertama kali penerapan delapan Syarikah yang menangani jemaah haji Indonesia, di mana sebelumnya ditangani satu syarikah. Konsekuensinya, ada jemaah haji yang terpisah dari orang tua, suami, istri, anak, dan sebagainya, karena mereka dilayani oleh Syarikah yang berbeda.

Alhamdulillah, tantangan ini telah disikapi pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama. Penyatuan jemaah haji yang terpisah hotel dan maktab karena beda syarikah, khususnya saat di Makkah, dan Armuzna, akhirnya cepat terealisasi.

Kami juga mewawancarai Deka Kurniawan dari Komisi Nasional Disabilitas. Komisi ini resmi digandeng Kementerian Agama tahun ini, untuk memantau pelayanan haji ramah lansia dan disabilitas.

"Insya Allah langkah-langkah yang dilakukan di Daker Madinah sudah sangat bagus menurut kami. Karena mereka melakukan terobosan di mana jika ada jemaah yang ternyata butuh pendamping dan diharuskan berangkat oleh syarikah, maka petugas daker, khususnya di sektor-sektor layanan di lapangan itu, memberanikan diri untuk mengambil langkah, mencabut mereka dari manifest, mengeluarkan mereka dari rombongan, dan itu mereka bernegosiasi dengan alot, kami apresiasi. Kami acungkan jempol kepada mereka untuk melakukan langkah itu," demikian deka mengapresiasi.

Wawancara dengan berurai air mata juga terjadi pada Siti Maria Ulfa, Koordinator Layanan Haji Ramah Lansia dan Disabilitas pada Sektor 2, yang terus menyaksikan dan menangani para jemaah haji lanjut usia dan bahkan sekaligus disabilitas, selama di Madinah hingga diberangkatkan menuju Makkah.

Hari ini saya menolak menangis, menolak membayangkan ibu saya kelak yang akan menjadi jemaah haji ramah lansia itu. Ibu saya yang juga sedang menunggu antrian keberangkatan.

× Image