Serdadu Bakteri dari Tanah Makam

DIAGNOSA -- Tanah makam seringkali dicap menyeramkan. Anggapan itu tidaklah salah, sebab makam adalah tempat peristirahatan terakhir manusia. Namun, di balik kesan seram itu, kehidupan baru muncul lewat koloni bakteri yang terpendam di liang lahat.
Di tangan peneliti Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. Triastuti Rahayu, S.Si., M.Si., rahasia tanah makam mulai terkuak. Perempuan yang akrab disapa Trias ini mulai menaruh minat pada tanah makam sejak 2019. Sayang, lantaran pandemi Covid-19, keinginan meneliti tanah makam harus tertunda.
Keinginan untuk meneliti tanah makam kembali muncul di benak Trias pada 2022. Ia memandang tanah makam memiliki potensi kekayaan bahan organik di dalamnya. Apalagi terjadi proses penguraian protein dan lemak pada jasad manusia.
“Jasad manusia itu kan terdiri dari air, protein, dan lemak. Kami berasumsi bahwa di situ (tanah makam) mesti akan ada pengurai protein lemak,” ujar Trias saat berbincang di Laboratorium Kultur Jaringan, UMS, pertengahan Juni lalu.
Penelitian serupa memang jamak dilakukan di luar negeri. Namun, asing terdengar di Indonesia. Trias melihat peluang besar tersebut dan mengukuhkan niatnya untuk membedah tanah makam.
Tak sampai setahun kemudian, Trias bersama rekannya mulai melakukan penelitian awal pada tanah makam di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bonoloyo, Surakarta, dan TPU Pracimaloyo, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kedua TPU memiliki karakteristik yang berbeda. TPU Pracimaloyo memiliki kontur yang datar. Hal itu membuat komunitas bakterinya terbilang mirip. Sementara TPU Bonoloyo memiliki kontur tanah berbeda. “Saya yakin komunitas bakteri di Bonoloyo akan berbeda,” lanjut dia.
Sampel tanah diambil dari dua jenis makam berbeda, yakni makam baru dan makam lama. Trias menduga dua kondisi tersebut membuat komunitas bakteri di dalam tanah akan berbeda. Mengingat jasad pada makam lama telah habis terurai, namun kuat dugaan masih terdapat bakteri yang mendiami makam tersebut.
Lantas jika makam lama tersebut telah ditutupi batu nisan, bagaimana cara Trias mengambil sampel tanahnya? Apakah membongkar nisannya? Tentulah tidak. Trias mengambil sampel tanah di antara dua makam. Cara tersebut ia lakukan pula pada makam baru.
Percobaan pertama ia lakukan dengan mengambil tanah di kedalaman 20 sentimeter dan 140 sentimeter di kedua makam. Sampel tanah makam kemudian dikirimkan ke salah satu lembaga penelitian biologi molekuler di Tangerang, Banten, untuk dianalisis.
Trias berkata langkah tersebut saat itu lebih efektif dan efisien ketimbang melakukan analisis mandiri. Barulah pada penelitian berikutnya, Trias dan timnya mampu melakukan analisis sampel secara mandiri.
Hasil analisis menunjukkan, filum yang paling umum dijumpai di kedalaman 20 sentimeter adalah Proteobacteria sebesar 29,5 persen, Actinobacteria sebesar 21,6 persen, dan Firmicutes sebesar 19,2 persen.
Sedangkan di kedalaman 140 sentimeter, Actinobacteria lebih mendominasi hingga 34,2 persen. Disusul Proteobacteria sebanyak 21,9 persen dan Firmicutes sebanyak 16,6 persen.
Temuan tersebut telah termaktub dalam riset bertajuk “Metagenomic data of bacterial 16S rRNA in the cemetery soil samples in Surakarta City, Indonesia” yang terbit di jurnal Elsevier, Februari tahun lalu. “Penelitian tersebut menjadi pembuka dari riset-riset berikutnya,” kata dosen Pendidikan Biologi UMS itu.
Manfaat Actinobacteria
Di ruang kerjanya di Laboratorium Kultur Jaringan, UMS, dengan hati-hati Trias mengambil delapan tabung reaksi dari kotak penyimpanan dan meletakkannya di atas meja. Setiap tabung reaksi berisi koleksi isolat-isolat Actinobacteria dengan warna yang bervariasi, seperti ungu kehitaman, hijau kekuningan, dan abu-abu.
“Ini tabung isinya bakteri,” kata Trias menjelaskan. Tabung reaksi tersebut digunakan untuk menyimpan Actinobacteria yang diperoleh dari tanah makam.
Actinobacteria adalah filum bakteri yang termasuk ke dalam kelompok bakteri gram positif. Bakteri ini banyak ditemukan di tanah. Actinobacteria berperan penting dalam menguraikan zat-zat organik. Peran itu sangat penting untuk menambah zat hara dalam tanah dan pembentukan humus yang menyuburkan tanah.
Actinobacteria pernah diklasifikasikan sebagai jamur karena membentuk struktur mirip hifa. Pun saat kami melihat sampel Actinobacteria yang dimiliki Trias, beberapa sampel nampak memiliki serbuk-serbuk yang lazimnya dijumpai pada jamur. “Pada bakteri umumnya itu tidak ada serbuk-serbuknya,” jelasnya.
Masa pertumbuhan Actinobacteria pun sedikit lebih lama dibanding bakteri pada umumnya. Bakteri umumnya memerlukan waktu sehari untuk tumbuh. Sementara Actinobacteria memerlukan hingga tujuh hari.
Actinobacteria memiliki karakter yang cenderung lengket. Berbeda dengan bakteri pada umumnya yang sekali gores bisa terangkat semua, Actinobacteria sangat melekat pada medium agar.
Actinobacteria memiliki kemampuan menguraikan protein (proteolitik), lemak (lipolitik), dan selulosa (selulolitik). Filum bakteri tersebut juga banyak menghasilkan senyawa bioaktif, misalnya antimalaria, antikanker, hingga antibiotik.
Jika dikembangkan lebih lanjut, Actinobacteria akan bermanfaat bagi manusia. Misalnya, fermentasi makanan, penguraian limbah, hingga pewarna alami. “Kami juga berpikiran ke depan ini potensial juga untuk pewarna alami, misalnya untuk tekstil,” kata Trias sambil menunjukkan tabung reaksi berisi cairan berwarna ungu.
Mengulturkan mikroorganisme seperti bakteri bertujuan untuk menambah jumlah bakteri secara massal dalam waktu cepat. Jika ingin mengisolasi enzim dari Actinobacteria, Trias mengatakan medium cair menjadi media kultur yang tepat.
“Actinobacteria kita tumbuhkan pada medium cair, kemudian kita isolasi enzimnya. Kemudian kita murnikan,” terangnya. Metode seperti ini juga berlaku untuk mengisolasi senyawa antibiotik.
Sekali bakteri dikulturkan, maka ia akan mudah untuk dikembangbiakkan. Pengambilan sampel untuk mendapatkan isolat Actinobacteria cukup dilakukan sekali saja. “Kalau kita sudah bisa mendapatkan isolatnya, itu tinggal kita kembangkan,” tambahnya.
Namun, ia menekankan penelitian mengenai manfaat Actinobacteria dari tanah makam masih perlu dilakukan lebih mendalam. Ia pun melibatkan lima mahasiswa Pendidikan Biologi UMS untuk meneliti Actinobacteria.
“Penelitian tersebut akan menggunakan pendekatan culture dependent dengan mengisolasinya pada media kultur untuk dikarakterisasi sebagai lipolitik, proteolitik, selulolitik, dan penghasil antibiotik,” kata dia.
Perlu Penelitian Mendalam
Trias tak ingin penelitian tanah makam berhenti. Ia pun telah berencana melakukan penelitian lanjutan yang membedah sisi lain tanah makam.
Tahun lalu, Trias melanjutkan risetnya. Kali ini ia fokus pada tanah makam di TPU Bonoloyo. Ia meneliti risiko patogen dalam tanah dengan membandingkan sampel di dalam dan di luar makam.
Trias menuturkan artikel penelitian tersebut masih dalam proses untuk publikasi. Namun, secara sekilas, tanah di dalam makam mengandung lebih banyak patogen dibanding tanah di luar makam. “Asumsinya kalau seperti itu ada risiko penularan patogen dari dalam makam ke luar makam,” terangnya.
Beruntung, penelitian lanjutan tersebut berhasil meraih hibah dari Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Hibah tersebut memungkinkan Trias dan timnya untuk menganalisis tanah makam secara mandiri di Laboratorium Riset Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UMS.
Trias juga menggandeng sejumlah mahasiswa Pendidikan Biologi UMS. Mereka berkesempatan menjadikan penelitian tanah makam sebagai tugas akhir berbasis luaran atau outcome-based education. “Insya Allah nanti artikelnya terbit di jurnal Biodiversitas dan Biosystems Diversity,” ujarnya sumringah.
Seolah tak ada habisnya penelitian mengenai tanah makam, baru-baru ini Trias meraih hibah Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM) Kemendiktisaintek untuk meneliti kembali mengenai tanah makam. Kali ini ia berencana meneliti kandungan bakteri pada air tanah di lingkungan makam.
Gagasan itu muncul sebab keprihatinannya pada pemukiman padat di sekitar makam yang menggunakan air tanah. Ia mengkhawatirkan potensi cemaran patogen pada air tanah di sekitar makam.
Ditambah lokasi pemukiman yang sangat dekat dengan lokasi makam. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah mensyaratkan jarak pemukiman minimal 250 meter dari pemakaman. Sementara di Indonesia, belum ada regulasi tegas yang mengatur jarak pemukiman dari pemakaman.
“Kami juga telah berkomunikasi dengan pemerintah daerah setempat mengenai urgensi penelitian kami dan alhamdulillah mereka menyambut positif,” tutur dia.
Penelitian tersebut turut melibatkan dosen dari Fakultas Hukum UMS, Prodi Kesehatan Masyarakat UMS, dan Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Sebelas Maret. Ia berharap penelitian lanjutan tersebut dapat menghasilkan regulasi yang mengatur jarak hunian dengan lahan pemakaman.
Sumber: www.ums.ac.id