DPR Terima Aspirasi Komunitas ARSI Bogor Raya Terkait Persoalan Kebijakan Kamar Rawat Inap Standar

DIAGNOSA -- Dalam memperjuangkan hak masyarakat di bidang kesehatan dan peternakan, ARSI Bogor Raya bersama Komunitas Peternakan menggelar audiensi dengan Anggota Komisi IX DPR RI, H. Achmad Ru’yat, di Gedung Nusantara, Senayan. Pertemuan ini menjadi wadah penting bagi masyarakat untuk menyampaikan berbagai persoalan aktual, termasuk kebijakan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS), sistem pembayaran paket diagnosis oleh BPJS, hingga revisi UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Isu penerapan KRIS menjadi sorotan utama dalam audiensi. Berdasarkan keputusan Kementerian Kesehatan, implementasi KRIS yang sebelumnya dijadwalkan pada 25 Juni 2025 ditunda hingga Desember 2025 karena kesiapan fasilitas rumah sakit belum optimal.
Anggota Komisi lX menyampaikan, “Saya turun langsung ke lapangan, ke RSUD Cibinong dan RSUD Leuwiliang. Kami dapati pasien harus menunggu hingga 3-4 jam, dan waktu pelayanan masih lambat. Bahkan kamar rawat inap dikurangi dari 200 menjadi 180 karena penataan ulang ruang. Ini membuktikan bahwa banyak rumah sakit, terutama di daerah, belum siap menerapkan KRIS.”
Terkait sistem baru pembayaran paket diagnosis, peralihan dari ID ARJ ke ID ARDI juga dinilai membingungkan. Rumah sakit, terutama swasta yang mandiri, mengalami kesulitan karena ketidakjelasan tarif yang dibagi berdasarkan kelas (1, 2, 3). Bahkan, BPJS Kesehatan tercatat menunda klaim pembayaran hingga 20% dari total tagihan, sehingga mengganggu operasional rumah sakit.
“Klaim dari rumah sakit sering dipending. Misalnya, diajukan Rp5 miliar, yang cair hanya Rp1 miliar. Saya sampaikan di forum, ini sangat memberatkan. Rumah sakit bisa kolaps kalau sistem ini tidak dibenahi,” lanjut Achmad Ru’yat.
Beliau juga menekankan perlunya audit medis yang rasional dan tidak memberatkan, serta mendesak penggunaan data tunggal nasional untuk mendukung ketepatan sasaran program sosial dan kesehatan.
Dari sektor peternakan, Komunitas Peternakan menyuarakan perlunya revisi atau pembaruan terhadap UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, karena dinilai belum sepenuhnya berpihak kepada peternak lokal. Mereka meminta agar program pemerintah di bidang peternakan tidak berhenti di atas kertas, namun benar-benar terlaksana secara efektif di lapangan.
“Revisi UU ini penting agar kran impor tidak mematikan peternak lokal. Program pemerintah harus dikawal agar tidak tersendat oleh regulasi yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan,” ujar Anggota Komisi lX