Prov. NTT jadi Prioritas Pemerintah Pusat dalam Reformasi Layanan Kesehatan

DIAGNOSA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menegaskan komitmennya untuk mempercepat transformasi sistem kesehatan di Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan fokus pada peningkatan akses dan mutu layanan kesehatan dasar dan lanjutan.
Sekretaris Jenderal Kemenkes RI, Kunta Wibawa Dasa Nugraha, menyampaikan hal ini dalam agenda koordinasi perencanaan pembangunan kesehatan di NTT, Rabu 4/6/2025. Ia menekankan bahwa transformasi kesehatan bukan sekadar pembangunan infrastruktur, melainkan upaya menciptakan sistem yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
“Dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan 2025–2029, kita menempatkan ‘Kesehatan untuk Semua’ sebagai sasaran utama pembangunan menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Kunta.
Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) memiliki enam sasaran strategis: peningkatan gizi masyarakat, pengendalian penyakit, penguatan ketahanan kesehatan, layanan kesehatan yang adil, tata kelola yang efektif, serta teknologi kesehatan yang maju.
NTT menjadi salah satu wilayah prioritas. Strategi pembangunan kesehatan di provinsi ini meliputi peningkatan kualitas dan akses layanan kesehatan, eliminasi penyakit tropis seperti kusta dan rabies, percepatan penurunan stunting dan perbaikan gizi, serta penguatan SDM kesehatan dan peningkatan kesejahteraan tenaga medis
Namun, Kunta mencatat bahwa realisasi dana non fisik kesehatan di NTT masih rendah, yaitu sekitar 59,7%. Hal ini menjadi perhatian bersama agar manfaat program kesehatan benar-benar dirasakan masyarakat.
Dukungan pendanaan dari program Indonesia Health System Strengthening (IHSS) sebesar Rp63,5 triliun diharapkan memperkuat layanan primer, rujukan, dan laboratorium di seluruh Indonesia, termasuk NTT. Tiga program utama SOPHI, SHIHREN, dan InPULS—akan diimplementasikan secara bertahap hingga 2029.
Presiden RI juga telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2025, yang menekankan pentingnya kolaborasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk mempercepat peningkatan layanan kesehatan.
“Keberhasilan transformasi kesehatan sangat bergantung pada sinergi lintas sektor, dari pusat hingga daerah. Pemerintah daerah harus memastikan indikator RIBK masuk ke dalam RPJMD dan Renstra Organisasi Perangkat Daerah,” tambah Kunta.
Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, menyambut baik arahan ini dan menegaskan komitmen pemerintah provinsi dalam membangun sistem kesehatan yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan.
“Forum ini adalah ruang kolaborasi strategis untuk memperkuat arah pembangunan kesehatan yang tidak bisa disamakan dengan Jakarta. Di NTT, pendekatannya harus variatif, kontekstual, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Gubernur juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis komunitas untuk menjangkau layanan kesehatan hingga ke pelosok. Ia mendorong agar di setiap rumah ada anggota keluarga yang bisa menjadi perpanjangan tangan tenaga kesehatan, seperti dalam memantau kondisi ibu hamil atau menyusui.
“Visi kami jelas, sehat dulu, baru bisa cerdas, maju, dan sejahtera. Sehat adalah fondasi utama pembangunan berkelanjutan di NTT,” tegasnya.
Gubernur Emanuel juga mengingatkan pentingnya harmonisasi program dan penganggaran antara pusat dan daerah agar manfaatnya benar-benar dirasakan hingga tingkat desa.
“Forum ini jadi ruang evaluasi bersama. Kita bahas program yang berjalan, kendala anggaran, dan menyiapkan rencana untuk 2026. Kita ingin program pusat tidak hanya sampai di provinsi, tapi benar-benar bisa menjangkau desa-desa di NTT,” tuturnya.
Menutup sambutannya, Gubernur mengajak semua pihak membangun ekosistem kesehatan yang kuat dari tingkat desa hingga pusat.
“Ayo bangun ekosistem yang tangguh dari desa sampai ke pusat. Kita pastikan sinergi antara kabupaten/kota, provinsi, dan pusat bisa kita kerjakan dengan baik. Tuhan menolong kita dalam menangani stunting, kematian ibu dan anak, dan penyakit-penyakit menular berbahaya lainnya,” pungkasnya.